Senin, 17 Agustus 2009

Quantum Tarbiyah


Pada-Mu Rabbi Aku Berjanji…

Allah berfirman,
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS At Taubah : 111)

Karena kita sudah berjanji...
Mau tidak mau, sadar atau tidak, terpaksa atau rela, kita sudah berjanji kepada Allah. Berjanji untuk tunduk kepada aturan-Nya, menjadikan Allah sebagai Rabb kita. Sejak dalam kandungan sesungguhnya manusia telah diminta perjanjian atau transaksi untuk menyembah hanya kepada Allah.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS Al A’raf : 172)

Tidak dipaksa untuk bersyahadat
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al Baqarah : 256)

Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, pakar pendidikan Islam, dalam kitab Tarbiyah Ruhiyah bahwa salah satu jalan menuju taqwa adalah mu’ahadah. Yakni selalu mengingat perjanjian dengan Allah. Dalam sehari minimal 9 kali seorang muslim mengucapkan persaksiannya bahwa tidak ada ilah yang haq untuk disembah kecuali hanya Allah, dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.

Ikrar ini memiliki konsekuensi sebagai mitsaqan ghalizha, perjanjian yang agung. Terlebih karena ikrar ini kita ucapkan dengan sesadar-sadarnya dalam shalat tanpa paksaan sama sekali.

Kita telah berjanji, terpaksa atau dengan senang hati. Mu’ahadah berarti kita mengingat itu semua sebagai konsekuensi dari janji, karena setiap janji akan dimintai pertanggung jawabannya. Maka tepatilah janjimu. Allah berfirman,

"Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat." (QS An Nahl :91)

Untuk Memenuhi Janji Itu

Janji adalah energi. Kekuatannya dahsyat merasuk ke dalam hati. Sebab ia mengikat untuk diikuti dan dipatuhi.

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…" (QS Al Ma’idah : 1)

"Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar." (QS Al Fath : 10)

Penuhilah janjimu!
Karena kita sudah berjanji dan wajib menunaikannya, maka kita kita harus menenggelamkan diri dalam atmosfir tarbiyah untuk meningkatkan kualitas diri, keluarga dan masyarakat guna meraih kesempurnaan Islam, Iman, dan Ihsan serta mendapat ridha Allah.

Mengakui keunikan pribadi
Tarbiyah tidak dimaksudkan untuk membentuk pribadi yang seragam, atau menyeragamkan kepribadian. Tetapi justru mengakui keberagaman dan keunikan untuk diberdayakan sesuai keistimewaan yang telah Allah anugerahkan. Karena kata Nabi setiap manusia memiliki karakteristik masing-masing. "Sebaik-baik kalian di era jahiliyah, sebaik-baik pula di era Islam".

Dimulai dari diri sendiri
Ini tentu menuntut adanya kefahaman, keikhlasan, pengamalan, ketaatan, pengorbanan, kemurnian dan ketulusan, kerja sama serta saling percaya (tsiqah). Tarbiyah yang dibingkai kesadaran penuh inilah yang akan membawa seseorang pada kekokohan sikap, atsbatuhum muqiifan.

Komitmen terhadap diri sendiri
Rahasia sukses ada di tangan kita. Kitalah yang menentukan sukses maupun kegagalan kita. Imam Hasan Al-Hudhaibi berpesan, "Tegakkanlah daulah Islam di dadamu maka akan tertegak ia di bumimu". Jangan menuntut orang lain, tapi tuntutlah diri sendiri. Ajaklah orang lain dengan magnet kebaikan, serulah manusia dengan teladan utama, kuatkan pengaruhmu dengan ketulusan jiwa, jaga dirimu di mana saja berada dengan akhlak mulia, buka pertolongan Allah dengan banyak ibadah.

Terbatas tapi teratas
Orang yang terbatas justru kreatif. Kami yakin bahwa tarbiyah yang sukses bukan terletak pada banyaknya, mahalnya, lengkapnya fasilitas yang ada, tetapi lebih pada kemauan yang kuat dan kreativitas yang selalu terasah. Sehingga apapun keadaannya aktivitas tarbiyah tetap berlangsung, meski dalam keterbatasan, bahkan sangat terbatas.

Kita tidak berorientasi kepada keterbatasan tapi bagaimana menciptakan kemelimpahan. Kitalah yang menciptakan kondisi. Kitalah yang membuat momentum itu menjadi ada. Kitalah yang berupaya menghadirkan perubahan menjadi nyata dan agar eksistensi tetap terjaga.

Membangun Kecerdasan Tarbiyah

"Tak kudapatkan cela yang paling besar pada diri seseorang selain kemampuannya untuk sempurna, tetapi dia tidak mau berjuang untuk meraihnya." (Abu Thayyib Al Mutanabbi)

Tarbiyah itu mencerdaskan
Empat kunci ketenangan hidup
"Aku bisa tenang menjalani hidup ini karena empat hal. Pertama, aku tahu bahwa rezekiku tidak akan jatuh ke tangan orang lain, maka hatiku menjadi tenang. Kedua, aku tahu bahwa tugasku tidak akan dikerjakan orang lain, maka aku sibukkan diriku dengannya. Ketiga, aku tahu bahwa Allah selalu melihatku, maka aku malu jika aku menjatuhkan diriku dalam lumpur dosa. Keempat, aku tahu bahwa ajal itu pasti datang, maka aku selalu bersiap-siap menantinya." (Imam Hasan Al-Basri)

Tarbiyah adalah cara cerdas untuk bahagia, menggapai apa yang semestinya kita dapatkan, menyempurnakan kekurangan, menutup aib dan cela, mengubah tantangan menjadi peluang, mengubah hambatan menjadi kesempatan.

Ciri orang cerdas adalah orang berpikir dan bertindak lebih cepat dari masanya.

Kecerdasan itu dicapai dengan usaha yang serius dan terus menerus. Serius bukan berarti tidak pernah tertawa. Serius tarbiyah juga bukan berarti tidak bekerja, hanya melulu tarbiyah, bukan itu. Justru orang yang serius itulah yang hidup dengan visi dan misi yang jelas, hidup untuk memberi manfaat, serius dalam amal dan ibadah, agar hidup terasa lebih nikmat.

Lakukan Positioning diri
Beriman berbeda dengan sekedar berislam. Sebab iman tidak akan bermanfaat tanpa amal. Firman Allah,
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS Al Hujurat : 14-15)

Katakan dengan prestasi
Tiga kunci kebaikan
"Ada tiga hal yang apabila ketiganya ada pada dirimu, niscaya akan turun kebaikan dari langit dan pasti kamu akan mendapatkan bagiannya. Pertama, hendaklah amalanmu hanya untuk Allah SWT. Kedua, sukailah doa yang menjadi milik orang lain seperti engkau menyukai untuk dirimu. Ketiga, jagalah kehalalan makananmu semampumu." (Abu Hudzaifah ra.)

Raih suksesmu
Rasulullah SAW bersabda,
"Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa menggangu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia." (HR Muslim)

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda,
"Barang siapa membuatnya bahagia dengan kebaikannya dan bersedih karena keburukannya, maka dia adalah orang mukmin."

Sukses itu bikin Percaya Diri
Ada lima golongan yang bakal menyesal. Siapa mereka?
1. Orang yang kehilangan kesempatan beramal.
2. Orang yang terputus dari saudaranya saat tertimpa musibah.
3. Orang yang berhasil menangkap musuh tapi lepas kembali karena penjagaannya yang lemah.
4. Orang yang meninggalkan istri shalihah jika diuji dengan wanita yang buruk.
5. Orang yang bermaksiat hingga ajal menjemputnya.
(Ibnul Muqaffa’)

Dari sukses diri dalam melakukan kebaikan itu tumbuhlah rasa percaya diri. Setelah kita percaya diri, maka kita akan bisa melakukan sesuatu yang lebih baik dan lebih banyak lagi.
Diantara balasan kebaikan itu adalah mengajak saudaranya, kebaikan yang lain.
Misalnya, kalau kita bangun malam, lalu shalat malam maka akan terbuka kebaikan lain seperti dzikir, tilawah, doa, bahkan tergerak untuk berniat puasa sunnah.

Barengilah dakwah kita dengan bekal ilmu agar lebih seru dan bermutu. Kepercayaan diri kita akan bertambah saat kita meraih kesuksesan, meskipun berasal dari sukses-sukses yang kecil. Adapun ketika menghadapi masalah, maka hal ini akan membuat kita lebih termotivasi untuk bisa meraih sukses yang lebih besar.

Sebaiknya jangan mengabaikan sukses-sukses kecil itu. Percayalah, bahwa sesungguhnya dari sukses-sukses kecil itu akan menjadi kesuksesan yang luar biasa pada bisnis kita di masa depan. Selamat menempuh hidup baru di jalan dakwah.

Ciri orang cerdas adalah orang yang tidak rela menyerah kalah dari segala bentuk kekurangan, serius melakukan perbaikan, sungguh-sungguh menggunakan kesempatan, dan kontinyu dalam menggandakan kebaikan.

***

Sumber : Quantum Tarbiyah, Ustadz Solikhin Abu Izzuddin